Dua Kekalahan, Krisis Taktik, dan Kegagalan di Nations League – Cuma dalam waktu 6 bulan sehabis ditunjuk selaku pelatih Timnas Amerika Serikat, Mauricio Pochettino telah terletak di dasar tekanan besar. 2 kekalahan di CONCACAF Nations League dari Panama serta Kanada membuat banyak pihak mempertanyakan kapabilitasnya. Atmosfer lagi tal baik, mantan pemain mulai mengkritik, serta trofi Nations League yang lebih dahulu diraih saat ini lepas dari genggaman.
Banyak yang marah, banyak yang kecewa. Ini tidaklah masa keemasan yang dijanjikan. Serta walaupun opini publik dapat saja kelewatan, terdapat sebagian kritik yang memanglah layak didengar. Tetapi, saat sebelum menjustifikasi seluruh kritik ataupun menolaknya, terdapat baiknya memandang apa yang sesungguhnya terjalin di lapangan dalam 2 kekalahan tersebut.
Ini bukan cuma soal minimnya semangat juang. Terdapat sebagian upaya taktik yang diterapkan—beberapa kandas total, namun senantiasa membagikan pelajaran berharga. Pochettino jelas lagi dalam fase eksplorasi, mencari ketahui apa yang dia punya… serta lebih berarti lagi, apa yang dia tidak memiliki.
Ayo kita bahas sebagian eksperimen taktik yang diterapkan Pochettino dalam 2 laga kurang baik ini.
Susah Temukan Penyeimbang di Timnas Amerika Serikat
Selaku pelatih berpengalaman di tingkat klub, Pochettino wajib lekas membiasakan diri dengan tantangan baru di tingkat internasional. Ini bukan Premier League, di mana dia dapat mengendalikan seluruh aspek regu tiap hari. Di regu nasional, dia wajib bekerja dengan batas waktu serta sumber energi yang lebih terbatas.
Perkaranya, regu AS tidaklah skuad yang dapat bermain dengan taktik yang sangat kaku. Nama- nama semacam Christian Pulisic, Gio Reyna, Diego Luna, serta Regu Weah lebih efisien dikala diberi kebebasan berekspresi dalam melanda. Tetapi, supaya kreativitas mereka dapat berjalan maksimal, regu di sekitarnya wajib disiplin secara struktural serta taktik. Serta di sinilah penyeimbang itu susah ditemui.
Strategi Campuran Gelandang Kandas Total
Lini tengah jadi titik lemah utama dalam kedua pertandingan. Pochettino mempraktikkan formasi 4- 2- 3- 1 yang berganti jadi 3- 2- 5 dikala melanda, namun campuran gelandang yang dia seleksi kandas melaksanakan kedudukannya dengan baik.
Dikala mengalami Panama, regu AS memerlukan gelandang yang dapat mengalirkan bola dengan kilat serta vertikal. Idealnya, pemain semacam Yunus Musah ataupun Weston McKennie dapat memainkan kedudukan ini. Tetapi, Pochettino malah memilah Tanner Tessmann serta Tyler Adams, 2 pemain yang lebih defensif.
Statistik menampilkan kalau Tessmann cuma terletak di persentil ke- 34 dalam passing progresif, sedangkan Adams lebih kurang baik lagi di persentil ke- 16. Hasilnya? Aliran bola lelet, tanpa pergantian tempo, serta gampang dibaca oleh Panama. Dari 577 umpan yang dicatatkan AS, 338 di antara lain terletak di daerah Panama, namun mereka cuma mempunyai 32 sentuhan di kotak penalti lawan.
Ironisnya, dikala mengalami Kanada, Pochettino malah memasang McKennie serta Adams, yang lebih sesuai mengalami regu semacam Panama. Melawan Kanada yang lebih kasar dalam memencet, Adams malah kesusahan bernapas, cuma mencatatkan 22 umpan dalam 70 menit, sedangkan McKennie cuma 25.
Seandainya campuran gelandang diganti antara kedua laga ini, hasilnya bisa jadi hendak berbeda.
Christian Pulisic Tidak Berkutik!
Selaku pemain terbaik AS, Christian Pulisic senantiasa jadi pusat atensi. Tetapi, status itu pula jadi kelemahannya. Lawan dapat dengan gampang merancang strategi buat mengisolasinya.
Melawan Panama, Pochettino menempatkannya selaku no 10, suatu posisi yang tidak sempurna mengingat lapangan tengah yang telah padat. Selaku hasilnya, Pulisic lebih banyak dihajar oleh lawan ataupun semata- mata lenyap dari game.
Dia pernah berupaya turun lebih dalam buat mencari bola, namun itu cuma buatnya terus menjadi frustrasi. Statistiknya mencerminkan performa buruknya: cuma 4 dari 14 umpan silang berhasil, tanpa satu juga tembakan pas sasaran.
Dikala melawan Kanada, Pulisic lebih aktif serta berupaya lebih banyak, namun malah sangat kelewatan. Dia kerap menabrak lawan ataupun bermain sangat individualistis. Dia cuma menuntaskan 7 operan selama laga serta kandas menghasilkan kesempatan.
Ini merupakan paradoks Pulisic: dikala ditekan buat jadi pemimpin, dia kerap tampak lebih kurang baik. Kebalikannya, dia lebih efisien dikala bermain cocok alur game tanpa beban kelewatan.
Gio Reyna: Mengapa Tidak Dimainkan?
Dalam skema Pochettino, Gio Reyna sepatutnya jadi pemain kunci. Dia merupakan pengumpan terbaik di regu serta salah satu pemain yang dapat berpikir serta bergerak lebih kilat dibandingkan rekan- rekannya.
Tetapi, anehnya, dia nyaris tidak diberi peluang. Melawan Panama, kala regu AS memerlukan seseorang kreator di tengah, Pochettino malah memasukkan Jack McGlynn, yang lebih sesuai selaku pengatur tempo daripada pencipta kesempatan.
Dikala kesimpulannya dimainkan melawan Kanada, Reyna cuma diberikan 20 menit yang kurang berarti, kala pertandingan telah nyaris berakhir. Sementara itu, bila dimasukkan lebih dini, dia dapat saja mengganti dinamika game.
Pochettino beralasan kalau dia menaruh Reyna buat perpanjangan waktu—tetapi itu keputusan yang aneh, mengingat regu telah kesusahan semenjak dini.
Diego Luna: Sinar di Tengah Kegelapan
Di tengah seluruh kekecewaan, terdapat satu perihal positif: Diego Luna. Pemain muda Real Salt Lake ini menemukan peluang selaku starter melawan Kanada serta tampak selaku pemain terbaik AS dalam pertandingan itu. Dia senantiasa berupaya menghasilkan suatu, aktif mencari ruang, serta membagikan asist pintar buat berhasil penyama peran.
Perkaranya? Posisi Luna mirip dengan Pulisic, yang membuat skema regu jadi tidak balance. Bila Pochettino mau memasukkan Luna ke dalam regu utama, dia wajib menciptakan metode supaya tidak mengusik kedudukan Pulisic.
Luka serta Pergantian yang Wajib Dilakukan
Performa kurang baik AS dalam 2 laga ini memanglah dapat berhubungan dengan krisis luka yang dirasakan regu. Mereka kehabisan kedua fullback utama mereka, dan wajib mengandalkan striker pelapis yang kurang berpengalaman.
Tidak hanya itu, permasalahan di lini pertahanan pula mengkhawatirkan. Dengan opsi bek tengah yang rata- rata biasa saja serta kiper Matt Turner yang tidak sering bermain di tingkat klub, AS mempunyai kelemahan mendasar di jantung pertahanan mereka.
Tetapi, selaku pelatih timnas, Pochettino tidak dapat mengeluhkan apa yang dia miliki—ia wajib menciptakan metode buat memaksimalkannya. Bila tidak terdapat pergantian signifikan dalam taktik ataupun pemilihan pemain, AS dapat merambah Piala Dunia 2026 dalam keadaan yang jauh dari sempurna.